Pages

Tuesday, September 10, 2013

The Hope of LGBT life

Pandangan LGBT di mata masyarakat

LGBT masih dianggap hal yang taboo oleh masyarakat (khususnya masyarakat Indonesia) karena dianggap bertentangan dengan nilai moral dan agama. Hal ini pun dianggap sebagai hal yang menyimpang dari norma masyarakat sehingga LGBT masih dipandang rendah oleh masyarakat sekitar. Tetapi, apakah benar serendah itukah para LGBT? Pernahkah kalian yang membaca terpikir mengapa para LGBT dipandang rendah?
LGBT sebenarnya merupakan hal yang alami dan tidak terpengaruh oleh perilaku sosial. Homoseksual pun sebenarnya ada pada diri semua orang, hanya saja berbeda kadarnya pada setiap individu. Hal ini pun diketahui dari penelitian Kinsey yang mempelajari perilaku seksual pada setiap individu. Kinsey menemukan bahwa setiap individu memiliki potensi homoseksual pada diri mereka, ada yang kadarnya kecil, ada juga yang kadarnya besar.
0- Exclusively heterosexual with no homosexual
1- Predominantly heterosexual, only incidentally homosexual
2- Predominantly heterosexual, but more than incidentally homosexual
3- Equally heterosexual and homosexual
4- Predominantly homosexual, but more than incidentally heterosexual
5- Predominantly homosexual, only incidentally heterosexual
6- Exclusively homosexual

Menurut skala Kinsey, kira-kira Anda berada pada skala berapa?

Homoseksual tidak hanya berada dalam diri manusia saja, tetapi juga dalam tubuh hewan. (http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexual_behavior_in_animals). Kesimpulan yang didapatkan adalah homoseksual pun sebenarnya adalah genetik dan berada dalam tubuh makhluk hidup. Bahkan tanpa disadari ada di dalam tubuh Anda yang sedang membaca hal ini.
Kalau memang ternyata merupakan hal yang genetik, seharusnya berarti LGBT merupakan ciptaan alam dong? Berarti perilaku homoseksual seharusnya merupakan ciptaan Tuhan juga kan? Tetapi mengapa homoseksual masih dilarang pada agama?
Hal ini masih merupakan sebuah kontroversi di mana masyarakat (terutama para “aktivis agama”) masih menganggap para LGBT sebuah dosa besar di mata Tuhan. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat masih terpengaruh oleh doktrin agama karena masyarakat menganggap bahwa agama melarang hal tersebut. Padahal sebetulnya hal tersebut tidaklah benar. Interpretasi manusialah yang menyebabkan perbedaan pendapat pada kasus homoseksual. Hal ini menyebabkan ajaran secara turun-temurun kepada anak-anak bahwa homoseksual bukanlah hal yang benar.
Sungguh menyedihkan karena sebenarnya jika orang dapat berpikir dengan hati, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kegiatan homoseksual. Orang harus banyak belajar dari ilmu pengetahuan dan memakai hati nurani, bukan hanya dari agama saja.

LGBT apakah itu?
 
 http://www.lgbt-nelincs.org.uk/images/11_knowing_what_LGBT_is.jpg

LGBT adalah kepanjangan dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender. Kelompok LGBT bisa dianggap sebagai orang yang menyukai sesama jenis. Baik pria dengan pria ataupun wanita dengan wanita. Dalam bahasa seksual, hal ini dapat dikatakan sebagai homoseksual yaitu nafsu antara sesama jenis.

Apakah ada bentuk nafsu yang lain selain homoseksual? Tentu saja ada. Saya menyebutkan beberapa contoh saja.
  • Beastiality yaitu nafsu seorang manusia pada binatang.
  • Necrophilia yaitu nafsu seorang manusia pada mayat.
  • Sexual objectum yaitu nafsu seorang manusia pada benda mati.
  • Pedophilia yaitu nafsu seorang manusia pada anak kecil atau anak di bawah umur.
Apa sih yang membedakan homoseksual dengan segala bentuk nafsu yang lain? Tentu saja ada, yaitu homoseksual itu menaruh nafsu pada sesama manusia (dan tentu saja di atas umur).
Tetapi apakah hal tersebut baik? Tentu saja tidak! Segala bentuk pelampiasan nafsu tidak dapat dikatakan baik, termasuk homoseksual. Bahkan heteroseksual pun tidak dapat dikatakan jika hanya memfokuskan diri pada nafsu belaka saja.
Tetapi perilaku heteroseksual dan homoseksual mempunyai suatu hal yang istimewa, yaitu mereka dapat saling mencintai dan tidak hanya berdasarkan nafsu saja. Tidak hanya cinta biasa saja, tetapi cinta layaknya orang berpasangan.
Maka dengan itu, jika Anda masih takut dengan orang homoseksual atau masih homophobic, ataupun orang yang tidak setuju dengan para LGBT, Anda berarti hanya percaya bahwa manusia yang berpasangan hanya diciptakan untuk bernafsu saja, bukan untuk mencintai sesama.
Sebenarnya apa salah jika kegiatan homoseksual dilakukan? Toh tidak akan menimbulkan kerugian apa-apa bagi Anda.

Sisi lain atau Lain Sisi ?

http://www.ukprogressive.co.uk/wp-content/uploads/2012/11/rainbow-LGBT.jpg

Umumnya, pendekatan justifikasi agama sering dilakukan sebagian masyarakat dan pemerintah saat mengomentari berita yang berkaitan dengan isu-isu sosial, seperti kematian desainer muda Adesagi Kierana, berita waria, gay atau pekerja sex. Pandangan semacam itu mengemuka di media online, grup, dan Facebook. Cara berpikir yang “sehat” tidak digunakan secara maksimal dalam melihat persoalan itu. Segala ayat, tafsir sampai tidak menggunakan dasar apapun digunakan untuk menghakimi tertuduh atau korban. Korban dianggap berdosa, sehingga layak mendapat hukuman.

Berikut ini beberapa komentar yang berhasil saya rekam di media online, Kompas dan Facebook,

Mati aja lo HOMO!! LAKNAT!! BEGINILAH AZAB TUHAN!! ORANG MAHO (manusia homo) MATI MENGENASKAN !! ahahahahaha. (komentar pembaca tentang kematian Adesagi Kierana di http://www.vivanews.com)

Saya setuju kalau Anda mengatakan setiap orang punya nilai masing-masing, tapi semua ada batasannya. Indonesia negara demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi semuanya diatur sesuai kitab yang dipegang oleh masing-masing agama. Kita boleh menganut agama apapun, tapi ada aturannya. (komentar anggota di groups Facebook PernasAIDS tentang homoseksual)

Konser anak punk menyimpang dari ajaran syariat Islam, komunitas anak punk tidak bisa dibiarkan berkembang di bumi Aceh. (komentar Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddun tentang anak Punk di Harian Kompas, 4/1/2012)

Kalau saya amati komentar-komentar di atas tanpa perlu mencari tahu latar belakang pemberi komentar, sudah dapat dipastikan ia seorang muslim. Pasti muslim.

Sebagai muslim, saya bertanya-tanya mengapa yang melakukan hujatan, sikap mengkafirkan orang lain, merasa diri paling suci adalah orang yang selalu “mengaku” beragama Islam? Apakah Islam mengajarkan cara beragama seperti itu?

Saya terus merefleksikan diri selama lebih kurang 35 tahun, hidup sebagai seorang muslim. Dari mulai menempuh pendidikan di sekolah, masyarakat, keluarga, saya juga pernah mendapatkan pendidikan agama yang mengajarkan untuk tidak toleran pada yang berbeda. Menganggap orang lain (baca: non muslim, terutama Kristiani dan Yahudi) sebagai musuh yang harus diperangi, menganggap homoseksual dan pekerja seks sebagai orang-orang yang akan dilaknat dan dibakar api neraka.

Perjalanan saya bekerja di gerakan sosial mengharuskan bertemu banyak orang. Termasuk bertemu dengan ulama-ulama Islam dan membaca pemikiran-pemikiran Islam yang “lain”. Pertemuan itu pertama kali (Januari 2002) membuat saya mendapatkan pencerahan baru tentang pemahaman ke-Islaman yang lebih toleran yang mengedepankan cinta kasih. Artinya toleransi pada yang berbeda tidak sedikitpun akan mengurangi ke-Islaman saya, justru semakin meyakinkan pada nilai-nilai Islam itu sendiri.

Sekarang ini ada banyak tokoh-tokoh Islam yang berpikir terbuka dan mengkampanyekan anti kekerasan dan demokrasi. Semisal, Prof. Siti Musda Mulia, Prof. Dawam Rahardjo, Kyai Husein Muhammad, Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mohamad Guntur Romli, Ahmad Syafii Maarif, Almarhum Nurcholis Madjid, Ulil Abshar Abdallah, Akhmad Sahal dan masih banyak cendikiawan lainnya berpikiran terbuka. Para cendekiawan itu tentu tidak perlu diragukan lagi kemampuan pemahaman ke-Islamannya.

Mereka menggunakan tafsir Alkitab dan Hadist dengan mengkaitkan keilmuan lainnya, antara lain ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, politik, sosial, ekonomi dengan dasar kemanusiaan. Tentu pandangan para cendekiawan itu bukan kebenaran absolut. Masih sangat terbuka ruang kritik terhadap mereka.

Perbedaan pandangan yang ulama itu yakini menjadi salah satu dasar memahami teks Alkitab. Tapi poinnya para cendekiawan muslim mesti lebih terbuka berpikir dan tidak menggunakan “kaca mata kuda” dalam melihat persoalan kemanusiaan. Ujungnya bukan dosa-neraka, tapi bagaimana menjawab persoalan sosial dalam kerangka hak asasi manusia. Sehingga, sampai pada keyakinan, tidak semua umat muslim setuju terhadap kekerasan dan intoleran kepada yang berbeda.

Ironisnya, mengapa kebanyakan yang memberikan komentar “miring” dengan menggunakan doktrin agama umumnya umat Islam? Mungkin karena umat muslim terbesar di Indonesia (sekitar 85 persen) sehingga akan lebih terasa dampaknya dibandingkan komentar umat agama lain. Namun, bukan berarti sikap-sikap intoleran dan pelaku kekerasan atau kebencian tidak ada di umat non muslim. Tentu ada.

Tetapi, saya sendiri berpikir mengapa ucapan dosa, kafir, murtad dan neraka seolah menjadi “ciri khas” umat Islam dengan menghakimi pihak yang berbeda dan yang terpinggirkan? Sangat menyedihkan sekali! Agama Islam seperti kehilangan “ruh ilahi”-Nya. Ajaran Islam yang seharusnya hadir menebarkan cinta kasih, perdamaian justru berwajah “garang”, meyeramkan, penuh kebencian dan bersimbah darah. Jika terus dibiarkan pemahaman ini, akan membawa Islam dalam tampilan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan intoleran pada mereka yang berbeda.

Tengtu saya sebagai umat muslim merasa malu, sedih, dan bingung, sekaligus mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan informasi atau memberikan contoh bahwa Islam tidak seperti itu. Islam agama yang toleran, mencintai perbedaan, dan melindungi mereka yang terpinggirkan. Dalam Islam ada satu ayat Alquran berbunyi: “Ma maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Allah SWT mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS al-Anbiya’ 21 : 107).

Ironisnya, umat Islam yang terus menebarkan toleransi dan penuh cinta kasih mendapatkan tantangan keras dari umat Islam sendiri dan pemerintah. Pandangan itu dicap sebagai orang-orang sesat dan murtad, menjadi “makanan” sehari-hari yang harus diterima sebagai konsekuensi. Bahkan, tidak jarang ancaman dan pemukulan diterima oleh para umat muslim yang berpikir terbuka.

Kembali ke persoalan di atas, intoleransi sebagian umat di Indonesia yang penduduknya beragam dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan bernegara. Sekat-sekat mayoritas-minoritas akan semakin mengental yang akhirnya digunakan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan politiknya. Inilah yang banyak terjadi ketika pemilihan kepala daerah. Agama menjadi “jualan” politik untuk mendapatkan kekuasaan.

Sehingga, akan sangat sulit seorang Presiden atau kepala daerah di Indonesia berasal dari non muslim. Kecuali di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Manado, dan Papua. Rakyat Indonesia sepertinya lebih memilih presiden seorang koruptor dan heteroseksual daripada seorang non muslim atau homoseksual yang bekerja untuk kemanusiaan.

Situasi di atas kalau terus dibiarkan bukan hanya Islam sebagai agama yang akan ditinggalkan oleh manusia, tetapi juga kebangsaan kita (Indonesia) akan rawan terhadap konflik dan kehancuran karena pandangan tersebut. Dalam jangka panjang, Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai bangsa akan menjadi taruhannya. Tentu saja, saya sebagai muslim, sebagai anak Indonesia sekaligus sebagai seorang gay tidak menginginkan hal itu terjadi.

Saya tetap bermimpi, Islam sebagai agamaku, Indonesia sebagai negeriku, dan homoseksual sebagai orientasi seksualku akan tetap ada menjadi satu kesatuan. Hidup berdampingan, penuh warna dan keharmonisan, layaknya pelangi di balik awan.

*Sekretaris Umum ov

(diambil dari salah satu forum)

 Artikel diambil dari
http://harapanpelangiindonesia.tumblr.com/

0 comments: