Pages

Tuesday, September 10, 2013

Hentikan Diskriminasi Terhadap Kaum Difabel

Adanya stigmatisasi dan diskriminasi masyarakat umum terhadap keberadaan kaum difabel (penyandang cacat) membuat mereka selalu dipandang berbeda. Padahal, banyak diantara kaum difabel yang memiliki kemampuan yang baik, bahkan mampu berprestasi di berbagai bidang, termasuk salah satunya bidang olah raga. Hal itulah yang menjadi fokus penelitian dari Dr. Hanny Hafiar S.Sos., M.Si., dalam Seminar Vivat Academia bertajuk “Kebijakan Budaya dan Harmonisasi Sosial: Peningkatan Kualitas Hidup dan Harmonisasi Sosial”, Kamis (13/12) di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad, Jatinangor.

Dr. Hanny Hafiar S.Sos., M.Si. (Foto: Tedi Yusup)

“Stigmatisasi tersebut diawali dengan adanya realitas bahwa akses politik penyandang cacat terhambat oleh suatu klausul untuk menjadi anggota dewan,” ujarnya. Klausul yang dimaksud ialah bahwa calon anggota dewan bersyarat sehat jasmani dan rohani. Apabila seorang difabel mencalonkan diri sebagai anggota dewan, maka ia akan terbentur oleh klausul ini. Hal tersebut menunjukkan arti bahwa para penyandang cacat tidak bisa dikatakan sehat secara jasmani.
Realitas  lainnya adalah banyaknya perusahaan swasta yang enggan menerima kaum difabel sebagai karyawannya. Banyak stigma negatif yang menyatakan bahwa kaum difabel tidak bisa bekerja dengan baik. Menurut Dr. Hanny, dalam undang-undang pun telah jelas dinyatakan bahwa kaum difabel berhak untuk mendapatkan pekerjaan.
“Dalam UU No. 4 Tahun 1997 di situ hak mereka sudah dijamin. Sebanyak 1% dari jumlah seluruh karyawan seharusnya merupakan berasal dari kaum difabel,” jelas Dr. Hanny.
Terkait dengan akses untuk menjadi atlet, pemerintah pun hanya memberikan anggaran sebesar 10 – 20% dari total anggaran. Padahal, tidak sedikit dari para atlet tersebut yang berprestasi dalam event internasional dan mampu mengharumkan nama Indonesia. Namun, Dr. Hanny berpendapat para kaum difabel yang mampu menjadi atlet berprestasi akan lebih dihargai oleh masyarakat meskipun apresiasi masyarakat untuk menonton pekan olah raga bagi penyandang cacat sangat kurang. Selain itu, melalui prestasi itulah, para atlet difabel ingin memberikan kontribusi yang bermanfaat dan dapat dijadikan contoh bagi kaum difabel lainnya.
“Atlet difabel akan jauh berbeda dengan kaum difabel lain yang lebih memilih profesi sebagai pengemis,” ujar Dr. Hanny
Selain masyarakat, realitas lain yang menghambat akses kaum difabel justru datang dari faktor keluarga. Dalam kasus yang ada, banyak orang tua yang merasa malu dan minder apabila mempunyai anak difabel. Dalam hal ini, keluarga seharusnya mendorong anggota keluarganya yang difabel untuk berkegiatan, khususnya dalam lingkup komunitas difabel. Selain itu, keluarga pun diharapkan dapat lebih membuka diri kepada lingkungan mengenai keberadaan kaum difabel.
“Hal yang terpenting adalah masyarakat harus memberikan pendidikan sejak dini kepada anak-anak agar menghormati keberadaan kaum difabel,” pungkasnya.*

[Unpad.ac.id, 13/12/2012]
Laporan oleh: Arief Maulana/mar

0 comments: