Adanya stigmatisasi dan diskriminasi masyarakat umum terhadap
keberadaan kaum difabel (penyandang cacat) membuat mereka selalu
dipandang berbeda. Padahal, banyak diantara kaum difabel yang memiliki
kemampuan yang baik, bahkan mampu berprestasi di berbagai bidang,
termasuk salah satunya bidang olah raga. Hal itulah yang menjadi fokus
penelitian dari Dr. Hanny Hafiar S.Sos., M.Si., dalam Seminar Vivat
Academia bertajuk “Kebijakan Budaya dan Harmonisasi Sosial: Peningkatan
Kualitas Hidup dan Harmonisasi Sosial”, Kamis (13/12) di Bale Sawala
Gedung Rektorat Unpad, Jatinangor.
“Stigmatisasi tersebut diawali dengan adanya realitas bahwa akses
politik penyandang cacat terhambat oleh suatu klausul untuk menjadi
anggota dewan,” ujarnya. Klausul yang dimaksud ialah bahwa calon anggota
dewan bersyarat sehat jasmani dan rohani. Apabila seorang difabel
mencalonkan diri sebagai anggota dewan, maka ia akan terbentur oleh
klausul ini. Hal tersebut menunjukkan arti bahwa para penyandang cacat
tidak bisa dikatakan sehat secara jasmani.
Realitas lainnya adalah banyaknya perusahaan swasta yang enggan
menerima kaum difabel sebagai karyawannya. Banyak stigma negatif yang
menyatakan bahwa kaum difabel tidak bisa bekerja dengan baik. Menurut
Dr. Hanny, dalam undang-undang pun telah jelas dinyatakan bahwa kaum
difabel berhak untuk mendapatkan pekerjaan.
“Dalam UU No. 4 Tahun 1997 di situ hak mereka sudah dijamin. Sebanyak
1% dari jumlah seluruh karyawan seharusnya merupakan berasal dari kaum
difabel,” jelas Dr. Hanny.
Terkait dengan akses untuk menjadi atlet, pemerintah pun hanya
memberikan anggaran sebesar 10 – 20% dari total anggaran. Padahal, tidak
sedikit dari para atlet tersebut yang berprestasi dalam event
internasional dan mampu mengharumkan nama Indonesia. Namun, Dr. Hanny
berpendapat para kaum difabel yang mampu menjadi atlet berprestasi akan
lebih dihargai oleh masyarakat meskipun apresiasi masyarakat untuk
menonton pekan olah raga bagi penyandang cacat sangat kurang. Selain
itu, melalui prestasi itulah, para atlet difabel ingin memberikan
kontribusi yang bermanfaat dan dapat dijadikan contoh bagi kaum difabel
lainnya.
“Atlet difabel akan jauh berbeda dengan kaum difabel lain yang lebih memilih profesi sebagai pengemis,” ujar Dr. Hanny
Selain masyarakat, realitas lain yang menghambat akses kaum difabel
justru datang dari faktor keluarga. Dalam kasus yang ada, banyak orang
tua yang merasa malu dan minder apabila mempunyai anak difabel. Dalam
hal ini, keluarga seharusnya mendorong anggota keluarganya yang difabel
untuk berkegiatan, khususnya dalam lingkup komunitas difabel. Selain
itu, keluarga pun diharapkan dapat lebih membuka diri kepada lingkungan
mengenai keberadaan kaum difabel.
“Hal yang terpenting adalah masyarakat harus memberikan pendidikan
sejak dini kepada anak-anak agar menghormati keberadaan kaum difabel,”
pungkasnya.*
[Unpad.ac.id, 13/12/2012]
Laporan oleh: Arief Maulana/mar
0 comments:
Post a Comment